Ulasan Singkat Beberapa Gagasan Tan Malaka serta Kontekstualisasinya terhadap Politik Indonesia Kontemporer

Fernando Rahadian Srivanto§


  • § Pengajar Mata Kuliah Berpikir Kreatif dan Media Massa dan Sistem Politik di Universitas Paramadina serta sedang menyelesaikan tahap awal disertasi pada Program Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia. Aktif pula sebagai penulis lepas, periset pasar dan penasihat politik bisnis pada sebuah firma hukum di Jakarta.

Pengantar

 

Membicarakan Tan Malaka tidak akan pernah ada habisnya sebagai sosok misterius atau legenda karena riwayat hidupnya. Dalam usianya yang separuh abad, sebagai besar dihabiskan di luar negeri sebagai pelarian politik antara tahun 1922-1942. Selama masa itu Tan Malaka menggunakan 13 alamat samaran, tujuh nama samaran dan profesi baik sebagai guru, mandor atau tukang jahit. Belum lagi dibumbui cerita tentang kehidupan pribadinya yang kesepian namun selalu menemukan cinta dalam pelarian. Saat sebelum dan sesudah Tan Malaka meninggal pun, masih ada pula bermunculan Tan Malaka palsu. Kematiannya juga masih menyisakan misteri tentang bagaimana dan siapa yang memerintahkan eksekusi terhadap dirinya.[1]

Buat penulis, kesulitan yang muncul adalah jika pembahasan Tan Malaka muncul semata dari aspek sejarah yang membutuhkan kapabilitas tersendiri untuk membedah berdasarkan otentisitas berbagai dokumen yang terbit dalam bentuk cetak ataupun diperoleh melalui media online. Oleh karena itu makalah kecil ini tidak bermaksud membahas Tan Malaka sebagai sejarah individu atau pergerakan politik yang dilakukannya di masa lalu, melainkan warisan gagasan Tan Malaka apa yang dimaknai dan dianggap masih relevan serta kontekstual dalam politik Indonesia kontemporer saat ini.

 

Beberapa Buah Pikir dalam Dari Pendjara Ke Pendjara

 

Dalam salah satu buah karya Tan Malaka yakni otobiografi Dari Pendjara ke Pendjara[2], pengantar tulisan diawali dengan pengulangan Madilog memperlihatkan dialektika perspektifnya terhadap perkembangan hak asasi individu. Ia mempertanyakan, ”apa artinya itu semua jika krisis ekonomi, pengangguran, perang da kelaparan terus-menerus mengancam lebih dari 55% penduduk-penduduk di negeri kapitalis dan lebih dari 90% di tanah-tanah jajahan? Apa arti aturan-aturan itu jika si terdakwa miskin dan tidak berpendidikan dan tidak mempunyai uang dan pengetahuan untuk membela diri atau meminta bantuan pembelaan? Apa arti hukum jika yuris-yuris yang adil pun berakar pada kepentingan, pendidikan serta cara berpikir borjuasi?”[3]

Dalam bab yang berbeda, Tan Malaka secara deskriptif juga membahas Deli. Menurutnya, disana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga serta antara yang terjajah dan dijajah. ”…kekajaan bumi iklimnja Deli mendjadi alat adanja satu golongan kaum modal pendjadjah jang paling kaja, paling sombong tjeroboh dan paling kolot pada satu kutup. Dikutup jang lain berada satu golongan bangsa dan pekerdja di Indonesia jang paling terhisap, tertindas dan terhina: kuli kontrak”. Tan juga menambahkan “…klas yang membanting tulang dari dini hari sampai malam, klas jang mendapatkan upah tjuma tjukup buat pengisi perut dan penutup punggung, klas jang tinggal dibangsal seperti kambing dalam kandangja jang sewaktu2 di-godverdom-i [dimaki] atau dipukul, … adalah klasnja bangsa Indonesia yang terkenal sebagai kuli-kontrak”.[4] Pada jilid pertama otobiografi ini Tan Malaka menggarisbawahi kegetirannya terhadap situasi yang dialaminya. Ia menulis “dunia sekarang dimonopoli oleh kulit putih. Keadaan ini tiada boleh dibiarkan begitu sadja. Berbarengan dengan pembasmian kapitalisme, lebih kurang 60% kulit berwarna diseluruh dunia itu, harus meminta, merebut, dan kalau perlu memaksakan persamaan hak, lahir dan batin formal dan essential atas 40% kulit putih didunia ini”.[5]

 

Merdeka Seratus Persen

 

Apa yang dialami Tan Malaka dan ditulisnya dalam otobiografi Dari Pendjara ke Pendjara tersebut mempengaruhi tindakan ketika masa kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah politik Indonesia, Tan Malaka tidak puas atas langkah diplomasi Soekarno Hatta dan juga Perdana Menteri Sjahrir saat masuknya Sekutu ke Indonesia. Kemudian, ia mengajukan tujuh program minimum yakni (1) berunding untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100 persen, (2) membentuk pemerintah rakyat, (3) membentuk tentara rakyat, (4) melucuti tentara Jepang, (5) mengurus tawanan bangsa Indonesia, (6) menyita perkebunan musuh, dan (7) menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri, Menurut Tan Malaka, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan. Baginya, orang tak mungkin akan berunding dengan maling di rumahnya. “Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita tetap harus lawan”, katanya.[6]

 

Warisan Sang Tokoh

 

Kendati demikian, perjalanan politik Tan Malaka dalam konteks organisasi pergerakan tidaklah sesukses gagasan-gagasannya yang hingga kini masih diingat dan dibaca publik. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, Tan tidak berhasil membesarkan partai Murba sebagai kendaraan politik terutama setelah ia ditembak mati di Kediri setelah tiga bulan mendirikan partai. Kedua, pencitraan partai Murba sendiri sebagai komunis baru dan bermusuhan dengan organisasi kiri lain. Ketiga, ketidakjelasan apakah partai Murba akan dijadikan partai kader atau massa mengingat partai tersebut lahir dan berkembang dalam kancah revolusi dengan cara bergerilya. Keempat, dalam pemilihan umum 1955 sebagai proses demokrasi parlementer Partai Murba hanya memperoleh 2 dari 257 kursi bahkan dalam pemilu selanjutnya tidak pernah dapat masuk parlemen lagi. Kelima, dalam masa demokrasi terpimpin Partai Murba dijadikan Soekarno sebagai penyeimbang posisi PKI dan dibubarkan pada September 1965 karena tuduhan menerima uang US$100 Juta dari CIA untuk menggulingkan Presiden. Keenam, pada awal Orde Baru, Adam Malik sebagai salah satu tokoh Murba menjadi Menteri Luar Negeri dan kemudian wakil presiden. Meski demikian posisinya tidak berpengaruh bagi Partai Murba. Stigma rezim Orde Baru terhadap golongan kiri menyebabkan nama Tan Malaka hilang dari buku sejarah walau gelar pahlawannya tidak dicabut. Ketujuh, setelah Orde Baru tumbang Partai Murba yang menyebut dirinya sebagai Musyawarah Rakyat Banyak itu ikut pemilu tahun 1999. Akan tetapi seperti pemilu tahun 1971 yang hanya meraih 49 ribu suara (0,09%), dalam pemilu 1999 pun mereka hanya mendapat 62 ribu suara (0,06%).[7]

Lantas gagasan Tan Malaka seperti apakah yang sekiranya masih relevan dengan situasi sekarang? Pertama, Tan Malaka jeli mengamati dan menganalisis kondisi obyektif seperti yang tergambar dalam otobiografi Dari Pendjara ke Pendjara dan konsep Indonesia Merdeka Seratus Persen. Inilah yang membuatnya kerap berbenturan dengan pihak lain yang mengedepankan kondisi subyektif dalam realitas politik yang berlangsung saat itu. Peristiwa pecahnya konflik antara Front Demokrasi Rakyat (FDR) dengan tentara di Madiun tahun 1948. Misalnya saja beberapa buah pikir yang digambarkannya dalam otobiografi Dari Pendjara ke Pendjara secara jelas merupakan deskripsi kolonialisme dalam kerangka kapitalisme global yang masih berlaku hingga saat ini. Kuli kontrak di Indonesia secara fisik masa sekarang jelas berbeda dengan kuli kontrak di perkebunan-perkebunan daerah Deli tapi nasibnya masih tetap sama. Istilah yang digambarkan Tan Malaka seperti “klas yang membanting tulang dari dini hari sampai malam, klas jang mendapatkan upah tjuma tjukup buat pengisi perut dan penutup punggung” masih berlaku dalam persoalan ketenagakerjaan di Indonesia terutama dalam perihal outsourcing atau tenaga kerja kontrak. Dalam ekonomi politik, pelaku dan obyek kerap berubah namun kondisi masih tetap sama.

Kedua, Tan Malaka juga dengan tepat memberi gambaran deskriptif mengenai proses penindasan yang dilakukan kapitalisme dengan menuntut persamaan hak dan kesetaraan antara negara-negara kolonial dan wilayah jajahan. Hal ini pun juga masih dianggap kontekstual hingga jaman sekarang ketika organisasi dagang dunia yang dikendalikan negara-negara maju terus melakukan proses dagang dan investasi secara tidak terbuka dan tidak adil. Dengan demikian, kolonialisme hanya berubah wujud dalam kapitalisme global yang bergerak di antara perpindahan modal, aset dan saham. Wujud manusianya pun berubah dari bercaping menjadi mengenakan kemeja seragam tapi kondisi obyektif tidaklah berubah.

Ketiga, dengan kondisi obyektif yang digambarkan maka persoalan kemerdekaan juga menjadi penting untuk dibahas. Makna kemerdekaan pada era Tan Malaka jelas adalah pertarungan fisik dengan mengobarkan perang gerilya terhadap penjajah. Pada saat itu gagasan program minimum Tan Malaka menarik banyak pihak terutama mereka yang kecewa terhadap proses diplomasi. Bila mengikuti kondisi obyektif, jelas kemerdekaan fisik dalam term demikian tentunya sudah diraih sebagian. Hanya saja butir (6) dan (7) yang menyangkut ekonomi politik tidaklah mudah untuk dilakukan mengingat dependensi sebagai negara berkembang masih tetap ada hingga sekarang.

Singkatnya, kondisi obyektif memang selalu dapat dianalisis dan ditelaah secara jeli. Akan tetapi apakah hal yang sama juga berlaku pada kondisi subyektif ketika realitas politik menuntut lain?

 

Kontekstualisasi Gagasan

 

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana kontekstualisasi gagasan Tan Malaka serta relevansinya terhadap politik indonesia saat ini?  Persoalan pertama adalah eksistensi kelas sosial jaman sekarang mengalami perubahan yang cukup berarti dibandingkan 50 tahun yang lalu. Dikotomi antara penjajah-tertindas atau kelas penghisap-dihisap tidaklah lagi berupa dua kutub yang saling berseberangan. Borjuasi di Indonesia bukan lagi minoritas dalam jumlah tetapi mulai membesar sekaligus meningkatkan dependensinya terhadap kekuasaan. Di satu sisi dalam kapitalisme global, kelas borjuasi memainkan peranan sebagai konsumen terbesar dan sekaligus juga bersifat apolitis terhadap perkembangan sehari-hari jika kepentingannya tidak terancam. Sementara di sisi lain, kapitalisme juga tidak punah atau tumbang karena revolusi atau kekerasan. Kapitalisme menyesuaikan diri dan cara yang dilakukan dalam proses penguasaan ekonomi politik sedemikian rupa. Oleh karena itu prasyarat untuk melakukan revolusi dalam kerangka kontekstualisasi gagasan Tan Malaka pada masa ini menjadi kian sulit. Faktor kesadaran, dependensi bahkan jika dibenarkan dengan kepemilikan senjata sekalipun terus menjauh dari situasi yang ada.

Persoalan kedua adalah kontekstualisasi gagasan dalam proses demokrasi parlementer. Terlepas dari situasi bahwa partai Murba tidak pernah dapat merealisasikan pembagian kekuasaan melalui proses tersebut, pertanyaan yang muncul adalah dengan cara seperti apakah gagasan Tan Malaka bisa muncul kembali? Politik ideologi di Indonesia sudah mengalami kemerosotan drastis dalam kancah parlemen sementara politik transaksional semakin menguat. Hal ini jelas menjadi ironi tersendiri kalau melihat bagaimana para founding fathers bertarung ide dengan sedemikian kerasnya namun tetap menjalin persahabatan satu sama lain. Sebaliknya sekarang politisi partai jauh lebih mengutamakan perolehan finansial untuk membiayai konstituen dan kerap menunjukkan ketidakakuran secara personal dengan lainnya. Kenyataan seperti ini berlaku umum bukan saja terhadap segolongan ideologi tapi juga sudah menjadi fenomena tersendiri dalam partai-partai politik.

Persoalan ketiga adalah pemaknaan gagasan Kemerdekaan Seratus Persen pada masa kini jelas tidak dapat dipahami secara fisik atau material belaka. Faktor berupa pengaruh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dalam wujud new media adalah revolusi tersendiri yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya dalam waktu yang relatif cepat dan singkat. Dengan kata lain, proses manajemen dan penyebaran informasi dalam konteks perubahan pun bisa dilakukan hanya dengan hitungan detik. Di satu sisi, ada ruang kebebasan baru yang bersifat immaterial berupa penyebaran informasi ide bahkan  pengorganisasian ide yang tidak pernah dilakukan dalam waktu seperti itu. Sementara di sisi lain, muncul konsekuensi bahwa ide atau gagasan itu tidak lagi dapat bersifat mengental menjadi proses ideologisasi seperti yang dilakukan Tan Malaka selama berpuluh tahun. Ide atau gagasan itu akan tetap mencair dan dikonsumsi bahkan secara komersial.[8] Revolusi semacam demikian tidak saja digunakan oleh satu atau dua kelompok politik dalam menyebarkan gagasannya tetapi juga menjadi sarana kapitalisme yang mutakhir untuk beradaptasi dan mencapai tujuan asalinya. Dengan demikian pemaknaan Merdeka Seratus Persen haruslah digali kembali penjabaran definisinya sehingga tidak sekedar menjadi jargon dalam konteks diplomasi dan ekonomi politik terutama ketika batas-batas fisik dan material sudah dilangkahi oleh kemajuan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.

 

 

 

Penutup

 

Terlepas dari warisan berupa persoalan dan kontekstualisasi gagasan Tan Malaka, patutlah bila kita melihat pula buah dari warisan tersebut yang hingga saat ini juga masih relevan dengan situasi sekarang. Keberhasilan Tan Malaka antara lain adalah meletakkan dasar-dasar pemikiran mengenai keIndonesiaan yang sangat berarti bagi para founding fathers lainnya dan juga mengingatkan kita bahwa keIndonesiaan itu adalah warisan yang paling berarti dalam situasi dilematis seperti sekarang ini. Impian tentang keIndonesiaan bukanlah semata mengenai batas wilayah sebuah negara, tetapi semangat pembebasan sebagai warga dunia yang mengedepankan kesetaraan dan kesamaan hak asasi bersama-sama. Entah mengapa hal tersebut kini luput dari Indonesia saat ini yang kian dihimpit oleh paradoks kapitalisme global dan watak feodalisme yang masih melekat bersamaan dengan proses demokratisasi.

Itu pula yang membuat gagasan kemerdekaan secara ideal dan utuh memiliki arti penting sebagai konsep yang terus menerus didorong dalam masyarakat yang masih setengah terjajah dan setengah feodal dalam term gagasan tersebut. Kondisi obyektif tidaklah berubah namun kondisi subyektif pula yang harus dipertimbangkan sehingga perubahan itu haruslah menghasilkan masyarakat yang bebas, terbuka, setara dan memiliki prinsip keadilan sejalan dengan berkembangnya jaman. [frs]

 

 

 

 


[1] Lih. Arif Zulkifli (eds.), Tan Malaka Bapak Republik Yang Dilupakan, Serial Buku Tempo, PT Gramedia Jakarta, 2010, hlm. 8-11, 128-134, 140-145.

[2] Antara lain diterbitkan dengan judul Dari Penjara Ke Penjara Tan Malaka oleh Teplok Press, Yogya, cetakan kedua tahun 2000 sebanyak tiga jilid dan tebal lebih dari seribu halaman.[pen]

[3] Dikutip dari Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, Jilid 3: Maret 1947-1948, KITLV – Obor Jakarta, 2010, hlm. 210-211.

[4] op. cit., hlm. 214.-215.

[5] op. cit., hlm. 226-227.

[6] Gagasan  Tan Malaka ini didukung oleh Jendral Soedirman dalam kongres yang melahirkan Persatuan Perjuangan di Purwokerto tahun 1946. Lih. Arif Zulkifli (eds.), op. cit., hlm. 39-40.

[7] Arif Zulkifli (eds.), op. cit., hlm. 175-178.

 

[8] Fenomena kepemilikan t-shirt bergambar Che Guevara adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan hal ini. [pen.]

Leave a comment