TAN MALAKA: Sejarah Anti-Hero

Prof.Dr.Bambang Sugiharto

 

  • Pada millenium ketiga ini historiografi telah mendapatkan banyak kritik dari dalam dirinya sendiri. Aspek tendensius dan konstruktif dalam penulisan sejarah banyak disoroti. Maka bermunculanlah berbagai versi sejarah alternatif . Diantaranya yang menarik adalah munculnya sejarah anti-hero : sejarah pihak-pihak yang kalah dan terlupakan.  Dalam kerangka yang terakhir itulah sejarah ihwal Tan Malaka yang ditulis oleh Harry A.Poeze mesti didudukkan.
  • Buku berjudul “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia” karya Harry Poeze adalah jilid ketiga dari 6 jilid. Sejarah ini memang merupakan proyek ambisius yang rincian datanya sangat kaya dan sudut pandangnya cukup segar dan penting : yakni bukan dari konteks percaturan politis internasional, melainkan dari dinamika politik internal Indonesia sendiri. Maka buku ini kendati berfokus pada Tan Malaka, bisa menjadi acuan juga untuk banyak kepentingan lain dalam melihat sejarah politik Indonesia. Dalam rinciannya bahkan banyak sekali hal yang  selama ini belum ditulis orang.
  • Biografi Tan Malaka “Dari Penjara ke Penjara” sendiri, yang dibahas dalam buku Harry Poeze ini, terdiri dari tiga jilid. Jilid pertama dan kedua lebih bersifat reflektif, yakni kiprah dan perenungannya tentang sejarah, peradaban, revolusi dst. pada skala internasional. Sementara jilid ketiga lebih bersifat aktif, polemis sekaligus abstrak, oleh sebab sebagian besar ini memang ditulisnya dalam rangka pembelaan diri di hadapan tuduhan-tuduhan politis terhadapnya.
  • Tentang Tan Malaka, yang menarik saya khususnya pertama adalah figur Tan Malaka sendiri, yang kedua adalah perseteruannya dengan Soekarno-Hatta. Sebagai figur, Tan Malaka nampaknya adalah orang pergerakan yang radikal dan konsisten dalam melawan segala bentuk imperialisme internasional. Dan itu pula sebabnya ia keluar masuk penjara. Dimana-mana ia dikagumi karena kecerdasan dan pengetahuannya yang mendalam dan luas, namun sekaligus juga diburu karena kecenderungannya melawan pemerintahan kolonial, hingga secara harfiah lebih dari separuh masa hidupnya memang dilaluinya dipenjara dan di pengasingan luar negeri : Belanda, Filipina, Cina, Thailand, Burma, Hongkong, Singapura dan Malaya. Baru di masa-masa akhir hidupnya ia bisa tinggal di Jawa. “Siapa yang ingin merdeka, harus bersedia di penjara”, katanya. Dan itu bukan sekedar slogan kosong. Ia menjalaninya dengan penuh kepahitan. Sebagai orang yang berkiblat pada Marxisme, pengetahuan filsafatnya luas. Wawasannnya tentang dinamika peradaban dunia sangatlah mengesankan. Tapi yang lebih menarik adalah konsistensinya dalam melakukan dialektika : ia kaitkan segala pengetahuannya tentang peradaban itu terus menerus ke realitas Indonesia. Dan baginya Marxisme bukan dogma melainkan pedoman untuk aksi. Ia pribadi meyakini dalam setiap revolusi selalu ada faktor “X” yang tak terduga dan spesifik. Ia sadar betul bahwa perilaku manusia dan kompleksitas situasi konkrit tak sepenuhnya bisa diramalkan. Di sisi lain sebagai manusia ia memiliki kematangan dan integritas pribadi yang khas pula. Sebagai orang yang dibentuk oleh penderitaan yang panjang , kendati pengetahuan intelektualnya amat luas, ia tetaplah seorang yang sangat sederhana. Saat menjadi buruh Romusha di Bayah ia menikmati hal-hal kecil seperti : menata sekrup, membereskan pekerjaan-pekerjaan, merapikan barang-barang, hingga kesediaan membersihkan kotoran-kotoran manusia (yang sebetulnya sengaja ditebarkan kaum buruh sebagai protes). Ia memang konsisten menolak hidup dengan gaya Petit Bourgeois, bahkan pada saat ia sebetulnya telah terkenal dan bisa menikmati kenyamanan-kenyamanan.
  • Hal lain yang menarik adalah ketaksepahamannya dengan Soekarno-Hatta. Buku Harry Poeze membeberkan rincian-rincian menarik tentang itu, yang sebetulnya jarang diekspose dalam sejarah Indonesia. Misalnya saja klaim Tan Malaka bahwa Soekarno-Hatta sebetulnya memalsu sejarah proklamasi. Menurut  Tan Malaka proklamasi bukanlah ide Soekarno-Hatta. Dua orang ini awalnya justru menolak proklamasi sebab mereka tak percaya pada kekuatan rakyat dan takut akan banyak korban. Mereka lebih cenderung menunggu keputusan Tokyo yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia di bawah payung “Asia Timur Raya”. Dan ketika rakyat hendak melakukan perebutan senjata 19 september 1945 pun kedua orang itu tak menyetujuinya, bahkan mereka merasa bahwa diri mereka memang bukan pejuang  sejati dan karenanya hendak meletakkan jabatan, namun tak disetujui  pemerintah Jepang. Tan malaka terutama tidak sepakat dengan Soekarno-Hatta dalam hal persetujuan Linggajati dan Renville, yang baginya terlalu menguntungkan pihak Belanda, secara ekonomis maupun politis. Bagi Tan Malaka, Soekarno hanyalah orang yang pandai bicara saja namun tanpa arah filsafat yang jelas dan akibat kenyamanan gaya hidup borjuisnya ia menjadi kehilangan kontak dengan massa. Soekarno-Hatta terlalu memilih jalan yang tak berresiko. Segala perseteruan dengan Soekarno-Hatta akhirnya membuat posisi Tan Malaka selalu berada dalam bahaya, hingga akhirnya ia pun dituduh mendalangi kup 3 Juli 1946 dan tahun 1947 masuk penjara di Madiun. Konon itu skenario Amir Syarifudin dan Syahrir, didukung Soekarno-Hatta. Nasib akhir Tan Malaka pun tragis : tertembak mati oleh militer.
  • Pemikiran-pemikiran kiri di Indonesia memang tak selalu seragam dan satu haluan. Ada banyak penafsiran atasnya. Versi dialektika materialis ala Tan Malaka hanyalah salah satu di antaranya. Akan tetapi gagasan penting dari paham kiri adalah bahwa waktu itu isu kebangsaan dan kolonialisme tidak ditarik ke wilayah suku, ras, atau agama, melainkan lebih rasional : soal struktur kelas yang tidak adil, terutama struktur ekonomi-politik. Juga rasional dalam keyakinan bahwa suatu kondisi buruk akan melahirkan kondisi baru yang melawannya.

(Guru Besar pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. di sampaikan pada acara book launching “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 3. Karya Harry A Poeze)

 

Leave a comment