Sekapur Sirih Dari Editor

Sekapur Sirih Dari Editor

Mein Kampf, adalah sebuah bukti manifestasi atas kedirian sebuah cita­cita manusia seorang bangsa Jerman kelahiran Austria, yang ditulis oleh Adolf Hitler. Buku Mein Kampf yang berjudul asli Mein Kampf zwei Bande in Einem Band Ungekurtze Ausgabe ini adalah sebuah buku yang terdiri atas dua volume yang dikemas dalam satu jilid. Mein Kampf adalah sebuah dokumen sejarah yang sangat berharga, penting dan cukup ‘subversif’ untuk dikaji ulang kembali tentang cita-cita berdiri tegaknya sebuah bangsa Ubermensch, yang kehadirannya begitu banyak menuai kontroversi dan debat kusir tak berkesudahan dalam perdebatannya tentang kompleksitas sebuah negara modern abad XX. Mengingat akan penting dan berharganya buku tersebut, kami dari penerbit independen Das Mutterland, merasa terpanggil untuk menerjemahkan sekaligus tergugah untuk menyebarluaskan dokumen tersebut sebagai tradisi intelektualisme dan human interest yang senantiasa menutut adanya kebaruan dan pembelajaran ulang atas hermeneutika sejarah. Ya, meskipun buku cetakan pertama ini kami terbitkan dalam jumlah terbatas. Sudah barang tentu kami berencana akan menerbitkan buku Mein Kampf volume II sebagai agenda kami setelah buku volume I ini beredar dan berada di tangan Anda. Di awal penerbitan kami ini, Mein Kampf volume I yang berjudul ‘Pembalasan’ ini sengaja kami hadirkan lebih awal bagi Anda para bookaholic yang ingin mengintip rumitnya fragmen dan epos sebuah bangsa ‘Arya’.

Di dalam buku Mein Kampf versi asli tidak terdapat catatan kaki, bibliografi atau penjelasan-penjelasan ilmiah tentang suatu istilah atau nama­nama tokoh, namun pada buku Mein Kampf edisi terjemahan bahasa Indonesia ini kami sengaja membubuhi catatan kecil atau anotasi untuk menjelaskan secara singkat tentang nama-nama tokoh, tempat, peristiwa atau istilah yang masih ‘asing’ di telinga kita. Hal itu sangat penting dan sengaja kami lakukan agar memudahkan para pembaca kita untuk bisa mencerna dan memahami dalam konteks kapan, kenapa, bagaimana dan dimana Hitler menulis Mein Kampf. Proses penulisan Mein Kampf itu sendiri dilakukannya dengan cara mendiktekan endapan narasi pemikiran dan perasaan Hitler kepada Rudolf Hess, di dalam penjara Lamsberg Am Lech, pada tahun 1925. Dengan segala keterbatasan referensi dan ketatnya pengawasan sipir penjara pada saat itu, sangat logis apabila Hitler sangat kekurangan, bahkan nyaris tidak membawa serta buku­buku, bahan bacaan atau referensi ke dalam penjara yang selama penulisan bukunya itu sangat ia butuhkan. Jadi, Hitler hanya mengandalkan memori ingatannya saja ketika menuliskan pokok-pokok pikiran dan gagasannya sebagai hasil endapan bacaannya.

Patut kita kagumi ihwal daya ingat dan ketelitiannya saat Hitler menuangkan gagasan-gagasan politik, kritik seni, intisari Marxisme maupun filsafat anti-Semitisme dengan tanpa dibekali referensi sedikitpun, atau ketika ia mesti merumuskan teori proyek partai Nazi demi masa depan dan bangsa Jerman yang sangat ia sanjung itu. Atau ketika pikirannya harus ditarik kembali ke belakang di saat ia menuturkan kisah-kisah masa lalunya: tentang keluarga, cita-cita dimasa kecil, cerita semasa sekolah di Realschule, kegetiran hidup sewaktu di Wina, pengalaman ketika memasuki resimen ketentaraan di Bayern, hingga hal-hal yang sudah menjadi ikon Adolf Hitler, yaitu kebencian rasialnya terhadap kaum Yahudi.

Buku Mein Kampf jilid I ‘Pembalasan’ ini di awali dengan kisah romantisme yang lumrah terjadi pada seorang remaja pembangkang ketika sedang dalam proses pencarian jati diri, mesti berpolemik dengan pilihan-pilihan orang tua yang menuntut anaknya untuk memilih profesi ideal demi hidupnya di masa depan. Di masa-masa remajanya, Hitler sering bersitegang dengan ayahnya yang menginginkan agar Hitler menjadi seorang pegawai negeri, sementara Hitler lebih memilih bercita-cita menjadi seniman. Di hari-hari yang selalu penuh konflik itu, sosok ibunyalah yang selalu menengahi konflik dengan sikap yang penuh kelembutan, sampai-sampai sang ibu rela menyerahkan seluruh uang pensiun ayahnya untuk biaya Hitler agar dapat masuk Akademi Seni di Wina. Di kota Wina inilah realitas kehidupan yang pahit dan sulit di alami oleh Hitler berlangsung: hidup di rantau seorang diri, di tolak oleh Akademi Seni, tak punya pekerjaan dan bertahan hidup sebagai pelukis jalanan, ditambah dengan kondisi keuangannya yang semakin menipis dan menyedihkan membuat hidupnya semakin tak menentu. Sebuah realisme kehidupan yang rentan terhadap perubahan psikologis terjadi dalam dirinya. Dari awal hingga akhir setiap bab buku Mein Kampf jilid I ini, banyak menyimpan bahan perenungan yang lebih dalam ihwal perjalanan karir sang Fuhrer memang sangat menarik untuk ditelusuri lebih jauh lagi.

Memang adalah sebuah kenyataan yang wajar ketika kita mengetahui sosok Adolf Hitler adalah sosok yang selalu diliputi impuls-impuls kekerasan, agresif, penghancur, brutal dan arogan. Seolah-olah Hitler tak memiliki kepekaan, perasaan, kepedulian dan sensitifitas kemanusiaan sama sekali terhadap nilai dan norma kehidupan, khususnya pasca pembantaian 5 juta kaum Yahudi dan 6 juta kaum ‘Christian subhumans’. Asumsi-asumsi tadi mungkin sedikit ada benarnya, namun ketika kita selesai membaca Mein Kampf ini saya yakin -tanpa bermaksud untuk berlebihan- semua asumsi-asumsi yang kita tuduhkan itu akan terjungkal. Pada jilid I Mein Kampf ini ternyata kita akan mendapati sisi-sisi human interest Hitler yang tidak melulu berisi hasutan­hasutan dan cerita-cerita pembantaian massal yang mendirikan bulu roma. Betapa tidak, Hitler ternyata memiliki kepedulian akan pentingnya menjaga kesehatan dan kekuatan tubuh, yaitu dengan menyarankan agar dibiasakan berolahraga sejak anak-anak. Iapun mengkampanyekan akan bahaya penyebaran penyakit sifilis, dan menyarankan agar pemuda-pemudi yang sudah cukup usia agar segera menikah demi menghindari penularan penyakit seksual. Betapa ia begitu peka terhadap berbagai kondisi sosial; bahaya pengangguran, kelaparan, perceraian rumah tangga, penyakit dan cacat tubuh, efek media yang tak mendidik terhadap anak-anak, jahatnya praktek korupsi dan kapitalisme, bahkan iapun tidak menyembunyikan perasaan iba dan halusnya sebagai seorang manusia ketika ia membagi dan memberikan remah-remah roti kepada tikus­tikus yang kelaparan di dalam barak, sewaktu Hitler menjadi prajurit di Flanders.

Inilah realitas kontradiktif dan oposisi biner di dalam karakter dan perangai Adolf Hitler yang selalu tak tertebak itu: jahat/baik, penghancur/sensitif, bodoh/jenius, keras/lembut, cinta tanah air/meluluh lantakkan kebudayaan, arogan/penuh kepekaan, creator/destroyer, membela agama Tuhan/melakukan pembantaian atas nama Tuhan, dan lain-lain. Siapakah sebenarnya Adolf Hitler dibalik sosoknya yang eksentrik nan perlente itu? Memang membicarakan dan menelusuri sepak terjang Adolf Hitler adalah membicarakan tentang absurditas seorang manusia skizofrenia yang sangat kontradiktif satu sama lain, atau dengan meminjam istilah ungkapan Bambang Sugiharto didalam sebuah kata pengantar, “Ada kekerasan yang aneh bahkan di dalam kelembutannya, ada kelembutan yang ganjil bahkan di dalam kekejamannya”.

Adalah “tugas berat” bagi saya selama melakukan proses editing naskah terjemahan buku penting ini. Di katakan tugas berat karena, pertama, saya harus menjaga otentitas isi Mein Kampf ini baik secara substansi maupun narasi, sebab buku ini di terjemahkan langsung dari bahasa Jerman yang secara struktur bahasa sangat berbeda dan asing dengan bahasa Inggris seperti pada sumber buku-buku terjemahan umum lainnya. Ketika saya sering menemukan adanya banyak kesulitan dan kerancuan dalam mengartikan makna suatu kalimat, kata atau paragraf, saya harus memeriksa dan mencocokkan keragu-raguan saya tersebut dengan mencari sampai dapat padanan kata atau struktur kalimat yang pas di buku Mein Kampf edisi bahasa Inggris yang sangat sulit dan langka saya temukan itu. Kedua, tugas berat saya yang lain adalah begaimana menjaga agar kualitas terjemahan ini enak di baca tanpa harus merubah atau terjebak dalam slogan dan propaganda di dalamnya. Di dalam buku ini saya sengaja membiarkan kata-kata asing yang masih banyak bertebaran atau baris-baris kalimat yang penuh nada keras, umpatan kasar, caci maki dan nuansa propaganda yang kental tentang pikiran politik Hitler dibiarkan apa adanya. Hal ini dilakukan agar pembaca sedang benar-benar membaca Adolf Hitler yang memang terkenal agresif itu. Membaca Mein Kampf tidaklah mudah karena ternyata ia memerlukan kedewasaan dan nalar yang cukup kritis serta antusiasme tinggi dalam memahami konteks sejarah secara global, dan buku Mein Kampf ini janganlah dianggap sebagai momok yang menakutkan, namun sebagai sebuah referensi tentang subjektifitas diri semata dari seorang politikus dan pemimpin yang memimpikan negara dan bangsanya untuk menjadi lebih baik.

Menelusuri jejak ide-ide, pikiran dan tindakan Hitler yang tertulis di buku ini bagaikan memasuki jagat raya identitas yang begitu rumit dan kompleks dari seorang pemimpin kharismatik sebuah bangsa yang -setidaknya menurut saya­sangat sulit didapatkan tandingannya dengan para pemimpin negara-negara modern lain. Di lihat dari kaca mata akademis dan intelektualisme Hitler, nyaris tak ada yang bisa dikagumi dan banggakan. Tetapi dibalik sosok dan kisah kehidupannya, ia begitu banyak menyimpan ironi sekaligus klise: seorang siswa miskin yang terpaksa putus sekolah, seorang tentara berpangkat rendah, seorang pelukis jalanan yang tidak sukses dan ambisi pribadinya untuk menjadi seniman yang berhasil hanyalah bentuk pelarian dan penolakan kerasnya semata agar tidak menjadi pegawai negeri seperti yang diidam-idamkan ayahnya, Alois Schicklgruber Hiedler.

Kondisi-kondisi psikologis inilah yang menyebabkan Hitler menjadi seorang yang sangat temperamen, frustrasi, agresif dan kasar. Akan tetapi disisi yang lain, kita pun terpaksa tidak boleh mengabaikan potensi-potensi kejeniusan Adolf Hitler saat berpidato dengan tanpa teks, berorasi dan memberi motivasi kepada tentara dan simpatisan partai Nazi yang terpana dan takjub, yang sepertinya mustahil dilakukan oleh seorang intelektual sekalipun, dimana kebanyakan mereka lebih suka menenggelamkan diri di lautan buku dan aksara; atau para politisi yang hanya sibuk dalam eksistensi dan citra diri; atau para akademisi yang memilih berkutat dalam teori-teori. Inilah nilai plus dari diri seorang Adolf Hitler. Dengan gaya berpidatonya yang ekspresif, lantang, tegas dan lugas ketika menyampaikan pikiran dan tujuan politisnya dihadapan para pengikutnya, ia seolah sedang menyihir dan menghipnotis lautan manusia menjadi robot-robot yang patuh. Ini pula credit point yang mampu membedakan Hitler dibanding dengan negarawan-negarawan lain yang hanya berangan-angan tentang kepatuhan dan kebajikan warga negara (Civic virtue), tapi sebaliknya Hitler mampu membuatnya menjadi realitas dengan mengkonsolidasikan kemampuannya membuka pikiran dan perasaan bawah sadar manusia.

Memang kita tidak bisa memungkiri catatan hitam sejarah bahwa Hitler telah melakukan impuls-impuls jahat, kekerasan, totaliter, reaksioner dan destruktif terhadap Yahudi atas nama peradaban Jermanisme, semangat cinta tanah air dan bangsa. Di dalam neutron pikirannya yang terpencil, Hitler menganggap bahwa seluruh kaum Yahudi adalah penjahat, penyebar penyakit , pembohong besar, penjilat, parasit yang mematikan dan prasangka-prasangka negatif lainnya. Pendek kata, kaum Yahudi adalah kaum dengan kualitas ras rendah yang harus dilenyapkan dari muka bumi! Sesuai dengan filsafat Nazi yang tidak hanya memimpikan sebuah negara Jerman, tetapi seluruh benua Eropa yang akan menjadi Judenrein – bebas dari kaum Yahudi.

Disinilah letak absurditas pikiran Hitler, yang bersama partai Nazi-nya sebagai mesin hasrat (Desire machine) bagi mensukseskan ambisi-ambisi skizofrenik-nya. Betapa ia telah begitu khilaf, melupakan dan menyia-nyiakan kontribusi yang sangat tak ternilai harganya yang telah diberikan banyak figur dan tokoh-tokoh yang mengharumkan nama Jerman, tanah air tercinta tempat kelahiran Adolf Hitler itu. Entah kebetulan atau tidak, kebanyakan kontributor­kontributor itu memiliki darah Yahudi, yang dimana sepanjang sejarahnya orang­orang Yahudi ‘pilihan’ Jerman ikut membantu dan meluaskan pandangan sejarah dunia yang banyak melahirkan intelektual-intelektual garda depan, ilmuwan­ilmuwan nomor wahid, filsuf-filsuf jempolan, bahkan seniman-seniman dan sastrawan-sastrawan yang tak jarang diantara mereka banyak yang di anugerahi hadiah Nobel.

Sebenarnya apa motivasi anti-Semitisme atau anti Yahudi Hitler ketika melakukan serangkaian pemusnahan kaum Yahudi itu? Apakah ada perbedaan substantif yang erat kaitannya antara anti-Semitisme dan anti Yahudi? Ataukah situasi politik, realitas sosial ekonomi dan kultural Jerman di era Hitler menawarkan satu penjelasan?

Ada motivasi psikologis yang berlainan dibalik tindakan anti-Semitik dan anti Yahudi, sebagaimana halnya ada motivasi-motivasi yang berlainan dibalik pembunuhan terencana dan pembunuhan tak terencana. Menurut Max I. Dimont, ada empat kualitas yang membedakan anti-Semitisme dari kekerasan anti Yahudi. Anti-Semitisme bersifat tidak logis, irasional dan berasal dari kekuatan-kekuatan bawah sadar. Pertama-tama, timbul prasangka yang kemudian diikuti justifikasi untuk merasionalkan perasaan itu. Sementara kekerasan anti Yahudi berasal dari motivasi-motivasi yang logis, rasional dan sadar. Pertama-tama timbul motivasi yang kemudian diikuti oleh tindakan­tindakan balas dendam. Kedua, anti-Semitisme di arahkan pada ‘ras Yahudi’ dan tidak mendapati apapun untuk dilakukan terhadap individu Yahudi, kesalahan­kesalahan ataupun kebaikan-kebaikannya. Kekerasan anti Yahudi diarahkan langsung kepada orang Yahudi sebagai individu dalam cara yang sama, dan untuk alasan yang sama-sama pula kekerasan itu diarahkan kepada individu-individu dari agama-agama dan nasionalitas-nasionalitas lain. Ketiga, anti-Semitisme dengan sengaja mencari-cari orang-orang Yahudi, dan hanya orang-orang Yahudi semata untuk sasarannya, tidak memasukan orang lain yang mungkin sama-sama mempunyai ‘kesalahan’ seperti yang dituduhkan terhadap orang Yahudi. Kekerasan anti Yahudi acapkali hanya merupakan faktor insidentil pada kekerasan umum yang dilakukan oleh si penyerang. Keempat, anti-Semitisme tidak mencari solusi, tidak mengulurkan ‘penebusan dosa’ kepada orang Yahudi dan tidak menawarkan alternatif karena menjadi Yahudi. Dalam kekerasan anti Yahudi, yang diarahkan secara khusus kepda kaum Yahudi obyeknya adalah mengkonversikan (memindahkan) mereka ke dalam agama si penyerang. Kaum anti-Semitisme membenci ide-ide ke-Yahudi-an, bukan individu Yahudi, karena ide ke-Yahudi-an adalah konsep yang ia benci, maka konversi orang Yahudi tidak bakal merubah apapun di dalam benak pikiran mereka.

Jawaban dari pertanyaan kedua adalah bahwa Jerman bila dilihat dari perspektif kultural merupakan gabungan dari dua kekuatan pikiran dan perasaan yang satu sama lain saling kontradiktif, yaitu Jerman ala idealisme yang agung, berwawasan terbuka dan terdapat kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas terhadap prestasi-prestasi kemanusiaan. Ini adalah Jerman yang mengembangkan dan memelihara humanisme yang berkontradiksi dengan Jerman yang berwajah filsuf-filsuf, militeris-militeris otoriter dan penghasut­penghasut yang berwawasan sempit.

Situasi politik dan realitas sosial ekonomi Jerman di era Hitler adalah situasi dan realitas yang tak jelas bentuknya. Menurut Hannah Arendt, di dalam The Origin of Totalitarianism menyebut adanya déclassé atau golongan masyarakat ‘tak berkelas’ (declassed). Disebut demikian karena golongan ini telah kehilangan status kelas dan jaminan hidupnya yang terdahulu. Dikalangan kelompok declassed yang gelisah inilah ditemukan sebagian besar penganut­penganut anti-Semitisme modern yang potensial. Dan dari golongan inilah Hitler merekrut sebagian besar pengikutnya yang sangat pemarah dan bernafsu.

Tatkala kekuatan-kekuatan relijius yang menggenggam masyarakat melemah, maka kekuatan-kekuatan psikologis yang mengendalikan permusuhan­permusuhan bawah sadar manusiapun juga melemah. Terjadilah kerawanan sosial yang menghantarkan ketidakamanan; kerawanan psikologis yang ikut menghantarkan kegelisahan. Kelompok sosial yang sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan ekonomi yang terjadi, kelompok tersebut menjadi sangat asing terhadap nilai-nilai dan simbol-simbol statusnya yang terdahulu. Karena ia merupakan kelompok yang sangat merasa tidak aman di dalam masyarakat modern, maka ia juga yang paling merasa gelisah. Dalam rangka meredakan, meneduhkan, mengurangi perasaan-perasaan yang menakutkan, ketidakamanan dan kegelisahan, para declassed tersebut mencari pemimpin-pemimpin yang akan merestorasi prestise dan jaminan mereka yang telah hilang, dan suatu filsafat serta ‘agama’ baru yang akan meredakan sekaligus menyejukkan kegelisahan-kegelisahan mereka.

Proses bermula ketika golongan declassed mendengar pidato-pidato caci maki dari para politikus-politikus anti-Yahudi, dan perasaan anti Yahudi mereka sendiri semakin banyak mendapatkan aspek-aspek yang menggelisahkan. Mereka yang merasakan pentingnya akan anti-Semitisme juga merasa gelisah perihal anti-Semitisme itu sendiri. Dibalik kekerasan slogan-slogan anti-Semitik mereka ada tersembunyi suatu kegelisahan lain, yakni alasan-alasan mereka untuk membenci kaum Yahudi ternyata tidak terealisasi sedikitpun, malahan sesuatu terjadi pada mereka sendiri. Hanya jika mereka memiliki pemimpin­pemimpin yang dapat menenangkan kekhawatiran mereka, adalah pemimpin­pemimpin yang dapat membuat gejolak perasaan kebencian ini menjadi lebih ‘sopa n’.

Harapan mereka terkabul, ketika golongan declassed diberi sebuah ‘agama ras’ yang ideasional dan pas oleh tiga orang teoritikus akhir abad XIX yang selalu memuji kebajikan golongan declassed, sehingga mereka akan menjadi produk-produk superior. Anti-Semitisme kemudian diberi ‘pupuk’ ilmiah oleh tiga buku yang memiliki bobot mentransformasikan kegelisahan yang meledak-ledak menjadi kebencian yang lebih sopan. Ketiga teoritikus ras ini adalah Count Arthur de Gobineau, dari Perancis dengan bukunya The Quality of Human Races (1853); Friedrich Nietzsche, seorang Jerman dengan bukunya Beyond Good and Evil; dan Houston Stewart Chamberlain, seorang Inggris dengan bukunya Foundations of the Ninteenth Century (1899). Ketiga tokoh dan karya-karyanya itulah yang menjadi bibel dan nabi-nabi sekuler kaum Nazi, yang ditingkahi suatu realitas yang mengerikan dan absurd oleh 15 juta serdadu Jerman!

Dalam ruang atmosfer kegelisahan para declassed, yang ditambah dengan buruknya situasi inflasi akibat kekalahan Perang Dunia I, hadirlah seorang Jendral purnawirawan Erich von Ludendorff dan seorang prajurit berpangkat rendah mantan pelukis jalanan yang tak berhasil, Adolf Hitler melakukan pagelaran dengan apa yang dikenal sebagai Munich Beer Hall Putsch. Sebuah kudeta di tahun 1923 yang berakhir dengan kegagalan. Ludendorff dibebaskan, sementara Hitler di ganjar lima tahun penjara namun ia hanya menjalaninya kurang dari setahun. Pada tahun 1929, Adolf Hitler bersama Herman Goering, Rudolf Hess, Ernst Rohm, Ludendorff dan Himmler mendirikan Nationalsozialistische Deutch Arbeiterpartei (NSDAP) atau yang lebih dikenal dengan akronim Nazi, adalah satu-satunya partai legal di Jerman.

Selama lima tahun pertama rezim Nazi, sedikitnya ada terdapat lima pentas yang di gelar oleh Nazi -atas perintah Adolf Hitler tentu saja- dimana tiap­tiap pentas terdapat satu momentum kekerasan yang khusus ditujukan kepada kaum Yahudi. Pentas pertama, bermula ketika Nazi naik ke tampuk kekuasaan tahun 1933 dengan melakukan perampasan dan penjarahan toko-toko milik Yahudi, pemukulan-pemukulan dan pemboikotan-pemboikotan terhadap bisnis Yahudi. Pentas kedua, pada tahun 1935 diberlakukannya undang-undang anti Yahudi atau Nuremberg Laws yang berisi pencabutan hak-hak suara bagi semua orang yang di anggap memiliki ‘darah Yahudi’. Pentas ketiga, bermula pada tahun 1939 dengan melakukan serangkaian penangkapan-penangkapan massal terhadap 20.000 orang Yahudi termasuk anak-anak dan wanita, serta dilakukannya berbagai penganiayaan fisik yang pertama di kamp-kamp konsentrasi. Pentas keempat, pada tahun 1940 dengan mendeportasi semua orang Yahudi Jerman dan Austria ke dalam ghetto-ghetto yang dikreasikan secara khusus di Polandia, dimana mereka dibiarkan mati karena penyakit dan kelaparan. Dan pentas kelima atau ‘solusi akhir’, yaitu pada tahun 1941 adalah perubahan status kamp-kamp konsentrasi yang bukan hanya sekedar tempat penawanan, akan tetapi menjadi tempat pemusnahan dan pembantaian massal. Solusi akhir ini bukan hanya membantai kaum Yahudi di Eropa, tetapi melakukan praktek perbudakan terhadap ‘Christian sub humans’ seperti orang-orang Rusia, Polandia, Rumania, Hungaria dan Yugoslavia. Pembunuhan-pembunuhan dan perbudakan atas mereka itu dilakukan oleh satuan-satuan tugas khusus Nazi yang dikenal sebagai Einsatzgruppen

Tak pelak lagi, semua peristiwa dan tindak tanduk Hitler dan Nazi sebagai mesin hasratnya membuat perasaan kita menggelegak dan mengepalkan tinju. Betapa tidak, Jerman sebagai sebuah negara adiluhung dan tempat inovator­inovator kebudayaan barat yang banyak melahirkan kreator-kreator musikjenius sekelas Beethoven, Brahms, Wagner, Chopin, Schubert, Verdi; seniman-seniman raksasa se-mashyur Van Gogh, Gaugin, Goya, Delacroix, Renoir; para gembong ide-ide cemerlang sedahsyat Marx, Hegel, Nietzsche, Schopenhauer, Einstein, Freud, Spencer, Darwin; serta sastrawan-sastrawan brilian sehebat Goethe, Fichte, Schiller, Balzac ternyata harus memiliki catatan kelam hanya karena terdapat penyimpangan dan prasangka-prasangka subjektif yang tak bisa dimengerti secara akal sehat, dimana Hitler sebagai kreator kehancuran yang bersamaan dengan luluh lantak tanah kelahirannya sendiri itu sebenarnya pernah begitu mengagumi, mempelajari, mendalami, terinspirasi dan bahkan diantaranya mengidolakan tokoh-tokoh tersebut.

Inilah realitas sejarah Jerman dengan maju mundur dan jatuh bangunnya sebuah peradaban yang selalu menyertainya, senantiasa menyimpan diakroni kesederhanaan di dalam kompleksitasnya, sekaligus memberikan enigma kompleksitas di dalam kesederhanaannnya. Tak ayal, Jerman merupakan sebuah negeri yang menyimpan ragam misteri peradaban yang revolusioner, indah, megah, elok sekaligus romantik itu adalah sebuah bangsa unhistoris yang diperankan oleh banyak pentas kejadian-kejadian, sekaligus sebuah bangsa historis yang tak terhitung memerankan banyak adegan-adegan peristiwa. Sekali lagi, Jerman adalah sebuah negara yang didirikan di atas tonggak-tonggak dan puing-puing kehebohan universal dalam percaturan sejarah dunia.

Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, selamat berpolemik dan selamat membaca. Aufwiedersehen!

Bandung, 24 November 2005 Andrias Mutterland

2 thoughts on “Sekapur Sirih Dari Editor

  1. FYI,

    Buku Max I. Dimont lainnya (The Indestructible Jews) sudah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul: “Dilema Yahudi, atau Suratan Nasib?”

    Terdapat di Gramedia Pondok Indah Mall dan Gramedia Matraman, Jakarta.

    1. tabeek tuan….
      kalau ada literatur ttg der Juden khususnya yg di indonesia..boleh dong di bagi…….

Leave a comment