SEBUAH PENGANTAR


Kekerasan dan kebiadaban yang pernah dilakukan Nazi Jerman demikian monumental, sekaligus demikian absurd, hingga sulit dibayangkan bahwa itu sungguh pernah terjadi. Namun kenyataan bahwa itu sungguh terjadi adalah sebuah isyarat teramat berharga ihwal ambiguitas peradaban manusia. Ia memaksa kita setiap kali merenungkan kembali hakekat identitas kebangsaan dan prasangka rasial yang selalu membayanginya, perjuangan demi martabat dan degradasi moral yang diakibatkannya, idealisme dan korban-korbannya, penalaran dan kegilaan yang menyertainya, kesadaran dan ketaksadaran yang tersembunyi di baliknya, dan seterusnya. Betapa dalam situasi tertentu segala konsep adiluhung dan suci bisa demikian kabur, tumpang tindih, menjadi tak lebih dari omong kosong besar namun membawa dampak teramat serius dan menakutkan.

Sungguh sulit sebenarnya membayangkan bahwa suatu negeri yang telah melahirkan penulis brilian macam Goethe, Heine, atau Schiller akhirnya membakari buku dan mengontrol pikiran. Betapa mengherankan bahwa sebuah bangsa dengan kecerdasan intelektual sedahsyat Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx atau Albert Einstein, akhirnya begitu antusias menjalankan proyek penaklukan dunia yang demikian naif dan bodoh. Sungguh tak bisa dimengerti bahwa sebuah bangsa dengan sensibilitas batin Johann Sebastian Bach, Ludwig van Beethoven atau Mozart akhirnya membantai jutaan orang, perempuan dan anak-anak tanpa hati sama sekali. Fenomena seganjil ini terlampau pelik dan penting untuk sekedar dikutuk dan dicaci. Ia akan tetap merupakan misteri ambivalensi sejarah peradaban manusia yang perlu dikaji kembali setiap kali.

Tentu ada banyak sekali faktor yang telah menciptakan peristiwa itu: batas­batas geopolitis Jerman yang sepanjang sejarah selalu tidak stabil dan artifisial sehingga identitas kebangsaannya senantiasa rentan; situasi kemiskinan dan pengangguran parah akibat rangkaian peperangan yang memupuk agresivitas dan kemarahan; lemahnya pemerintahan monarki Habsburg dan kekacauan pertikaian partai yang membuat orang merindukan kepastian; situasi penuh frustrasi yang mendorong orang mencari kambing hitam; tendensi ke arah totaliterianisme dalam filsafat Jerman sendiri, dan seterusnya. Telah banyak penelitian yang membahas ini semua. Diantara berbagai faktor itu tentu saja figur Hitler sendiri senantiasa menarik untuk disoroti.

Hitler saya kira adalah suatu figur yang sangat menarik, suatu sample dari misteri kedirian manusia yang tak selalu tertebak. Dalam takaran formal, stereotipikal Hitler sendiri bukanlah seorang yang berpendidikan tinggi. SMU-pun ia tidak selesai. Prestasi sewaktu di sekolah juga sama sekali tak mengesankan. Dia tidak lebih dari seorang otodidak yang keranjingan membaca, sangat sensitif, sangat obsesif dan temperamental. Kekecewaan besarnya akibat tidak diterima di Sekolah Seni Rupa, obsesinya untuk menjadi arsitek yang tak pernah terwujud, pengalaman keterpurukannya dalam kemiskinan sewaktu di Wina, kemarahannya terhadap keterjajahan, ditambah dengan kecerdasan reflektifnya dalam menangkap inti

persoalan sosial-politik, itu semua secara mengejutkan akhirnya melambungkan dia sebagai seorang demagog dengan retorika yang mampu menyihir massa sedemikian rupa, hingga lahirlah fenomena Nazi yang keganjilannya demikian spektakuler dalam sejarah manusia. Sebuah alur karier fantastis bagai sebuah drama. Hitler adalah suatu kecerdasan tak lazim yang mampu menangkap psikologi massa secara luar biasa, mampu mendramatisasi dan memanipulasi pengalaman penderitaan, ketakutan, kemarahan dan kebencian, dan memadukannya dengan ilusi harga diri yang membius .

Namun yang lebih menarik adalah bahwa fenomena Hitler menampilkan berbagai paradoks. Motivasi awal Hitler sesungguhnya adalah kepedulian moral yang tulus terhadap martabat sebuah bangsa. Namun ternyata itu berakhir sebagai arogansi diktatorial yang demikian immoral. Penalaran Hitler sesungguhnya dipupuk oleh berbagai inspirasi filsafati, antara lain berbagai pemikiran canggih dari Fichte, Hegel, Marx, Treitschke atau pun Nietzsche, dan rasionalitas filosofis itu digunakannya untuk mengubah realitas nyata. Namun akhirnya seluruh proyeknya menjadi betul-betul irrasional, bahkan schizofrenik. Sama halnya dengan cita-citanya untuk menciptakan jiwa yang sehat dengan menciptakan tradisi menjaga tubuh yang sehat, yang lantas berakhir dalam pembasmian segala tubuh rapuh dan cacat: eksterminasi 6 jutaan orang yahudi! Sebuah simtom spektakulerjustru tentang jiwa yang kacau dan tak sehat.

Absurditas dan paradoks perjuangan nilai macam ini sesungguhnya tidaklah hanya menimpa Hitler. Tendensi macam itu selalu membayangi dinamika kiprah peradaban manusia hingga kini. Tengoklah bagaimana segala perjuangan demi ahlak dan kebenaran Tuhan hari-hari ini kerap kali jatuh menjadi berbagai bentuk kekerasan yang justru tak berahlak. Berbagai gerakan untuk membela martabat agama justru berakhir dengan merusakkannya. Hitler pun pada masa itu sesungguhnya menganggap segala kiprah dan perjuangannya sebagai pekerjaan demi kemuliaan Tuhan. Dalam dunia manusia antusiasme berlebihan terhadap idealisme, yang teramat religius sekali pun, begitu mudah jatuh menjadi kebodohan yang mengenaskan dan menyedihkan. Namun inilah dunia manusia yang selalu tak sederhana, kompleks dan tak pasti. Bagi manusia akal dan kebebasan kadang sungguh merupakan keterkutukan, seperti pernah dikatakan filsuf Sartre.

Buku Mein Kampf yang ada di tangan anda ini adalah isi hati dan pikiran manusia bernama Hitler itu. Membacanya berarti memasuki kompleksitas persoalan di balik peristiwa Nazi yang mengerikan itu. Buku buah pikiran Hitler sendiri ini adalah sebuah tonggak penting dalam sejarah peradaban. Ia memperlihatkan nasib komitmen luhur yang jatuh menjadi kegilaan massal yang parah; memperlihatkan tragedi dan kekonyolan mengenaskan dari sebuah obsesi ke arah pengakuan identitas diri yang salah arah. Identitas, sebuah tema sentral dalam percaturan kultural global saat ini juga, yang memang mengancam manusia untuk terlikuidasi menjadi bukan siapa-siapa. Lepas dari berbagai kelemahan kecilnya, terjemahan ini adalah sebuah upaya penting bagi evolusi kesadaran yang hendak belajar dari sejarah.

Bandung, 9 September 2005 Bambang Sugiharto

Leave a comment